Sunday 17 January 2010

Lebih baik jadi "katak pekak"

Motivasi untuk diri sendiri yang diambil dari sebuah laman web. Apa salahnya kita berkongsi cerita, sekadar untuk menambahkan semangat diri sendiri ketika melalui alam ini, yang bukan di alam maya lagi, tapi dunia yang penuh dengan onak dan duri. Itulah alam realiti bukan rancangan realiti. Rancangan realiti pun banyak bermain dengan emosi. Jom kita hayati!

Cerita tentang katak pekak

Pada suatu hari ada segerombolan katak-katak kecil,...... yang berlumba lari
Tujuannya adalah mencapai puncak sebuah menara yang sangat tinggi.
Penonton berkumpul bersama mengelilingi menara untuk menyaksikan perlumbaan dan memberi semangat kepada para peserta...
Perlumbaan dimulai...Secara jujur: Tak satupun penonton benar2 percaya bahwa katak2 kecil akan mencapai puncak menara. Terdengar suara: "Oh, jalannya terlalu sukar!! Mereka TIDAK AKAN sampai ke puncak." atau: "Tidak ada kesempatan untuk berhasil...Menaranya terlalu tinggi...!!
Katak2 kecil mulai berjatuhan. Satu persatu... ..... Kecuali mereka yang tetap semangat menaiki menara perlahan- lahan semakin tinggi...dan semakin tinggi..
Penonton terus bersorak "Terlalu sukar!!! Tak seekorpun akan berjaya!"
Lebih banyak lagi katak kecil lelah dan menyerah... Tapi ada SATU yang melanjutkan hingga semakin tinggi dan tinggi... Dia tak akan menyerah!
Akhirnya yang lain telah menyerah untuk menaiki menara. Kecuali satu katak kecil yang telah berusaha keras menjadi satu-satunya yang berhasil mencapai puncak!
SEMUA katak kecil yang lain ingin tahu bagaimana katak ini boleh melakukannya?
Seorang peserta bertanya bagaimana cara katak yang berhasil menemukan kekuatan untuk mencapai tujuan? Ternyata..Katak yang menjadi pemenang itu PEKAK!!!!

Kata bijak dari cerita ini adalah:
Jangan dengar orang lain yang mempunyai kecenderungan negatif ataupun pesimis... ...kerana mereka mengambil sebagian besar mimpimu dan menjauhkannya darimu.
Selalu fikirkan kata2 bertuah yang ada. Kerana segala sesuatu yang kamu dengar dan kamu baca boleh mempengaruhi perilakumu!
Kerana itu: Tetaplah selalu.... POSITIVE!
Dan yang terpenting:
Buat PEKAK jika orang berkata kepadamu bahwa KAMU tidak bisa menggapai cita-citamu! Selalulah berfikir: I can do this!


Ya! Selepas ini kita kena belajar menjadi "katak pekak" walaupun hakikatnya kita sempurna dan segak.

Saturday 16 January 2010

Malu menjadi surirumahtangga?

Saya tertarik dengan satu isu yang dibincangkan di salah ruangan forum yang acap kali juga saya sertai. Topik berkisar tentang isu memilih untuk menjadi surirumahtangga atau 'full time housewife' ringkasnya bahasa dalam internet ni "fthw". Saya juga salah seorang yang memilih profession ini, dan tidak pernah bekerja makan gaji selepas habis belajar, sebab seusai belajar terus disambar oleh suami.

Memang ketika itu, perasaan berbelah bahagi, antara kerja makan gaji atau berkhidmat kepada suami. Tetapi, disebabkan sebelum berkahwin lagi saya sudah punya keinginan dan niat untuk mendidik anak sendiri, perasaan untuk bekerja makan gaji hanya datang ketika diri terasa sepi.

Di sini saya cuba bawakan topik hangat yang menjadi perdebatan di ruangan forum tersebut, ada yang berkata seronok malah ada yang mencebik mengatakan bosan mengasuh anak sendiri sebab tak ada gaji yang menanti. Kita hayati bingkisan ini:

"Hebat rasanya ketika mendengar ada seorang wanita lulusan sebuah universiti ternama telah bekerja dengan gaji mahal. Belum lagi pekerjaan itu sering menugaskan wanita tersebut terbang ke luar negara untuk menyelesaikan urusan perkerjaan. Tergambar seolah kejayaan telah dia raih. Benarkah begitu?

Kebanyakan orang akan beranggapan demikian. Sesuatu dikatakan sukses lebih dinilai dari segi material sehingga jika ada sesuatu yang tidak memberi nilai material akan dianggap remeh. Cara pandang yang demikian membuat banyak dari wanita muslimah tersasar dari fitrahnya. Berpandangan bahwa sekarang sudah tiba masanya wanita tidak hanya tinggal di rumah menjadi ibu, tapi sekarang saatnya wanita ‘menunjukkan eksistensi diri’ di luar. Menggambarkan seolah-olah tinggal di rumah menjadi seorang ibu adalah hal yang rendah.

Kita biasa dapati ketika seorang suri rumah tangga ditanya teman lama “Sekarang kerja dimana?” rasanya terasa berat untuk menjawab, berusaha mengalihkan pembicaraan atau menjawab dengan suara lirih sambil tertunduk “Saya adalah suri rumah tangga”. Rasanya malu! Apalagi jika teman lama yang menanyakan itu “sukses” kariernya. Atau kita boleh dapati ketika ada seorang muslimah lulusan universiti ternama dengan prestasi bagus hendak berkhidmat di rumah menjadi seorang isteri dan ibu bagi anak-anak, dia harus berhadapan dengan “nasehat” dari ibubapanya: “Anakku! Kamu kan sudah belajar tinggi2, Sayang kalau cuma di rumah saja mengurus suami dan anak.” Padahal, anak tercintanya hendak berkhidmat dengan sesuatu yang mulia, yaitu sesuatu yang memang menjadi tanggung jawabnya. Disana ia ingin mencari surga dan keredhaan Ilahi.

Ibu Sebagai Seorang Pendidik

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa pembentukan masyarakat boleh dilakukan dengan dua cara: Pertama, pembentukan secara lahiriah, yaitu pembentukkan yang berlangsung di pasar, masjid, dan berbagai urusan lahiriah lainnya. Hal ini banyak didominasi kaum lelaki, karena merekalah yang sering nampak dan keluar rumah. Kedua, pembentukan masyarakat di balik layar, yaitu pembaikan yang dilakukan di dalam rumah. Sebagian besar peranan ini diserahkan pada kaum wanita sebab wanita merupakan pengurus rumah. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah subhanahu wa ta’ala yang artinya:

“Dan hendaklah kalian (para wanita) tetap di rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa kalian, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 33)

Pertumbuhan generasi suatu bangsa adalah pertama kali berada di buaian para ibu. Ini berarti seorang ibu telah mengambil peranan yang besar dalam pembentukan peribadi sebuah generasi. Ini adalah tugas yang besar! Mengajari mereka kalimat Laa Ilaaha Illallah, menancapkan tauhid ke dada-dada mereka, menanamkan kecintaan pada Al Quran dan As Sunah sebagai pedoman hidup, kecintaan pada ilmu, kecintaan pada Al Haq, mengajari mereka bagaimana beribadah pada Allah yang telah menciptakan mereka, mengajari mereka akhlak-akhlak mulia, mengajari mereka untuk bersyukur, bersabar, disiplin, tanggung jawab, rasa empati, menghargai orang lain, memaafkan, dan masih banyak lagi. Termasuk di dalamnya hal yg dianggap remeh, seperti mengajarkan pada anak cara masuk ke bilik air dgn kaki kiri...

Sebuah Tanggung Jawab

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6)

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya: “Peliharalah dirimu dan keluargamu!” di atas menggunakan Fi’il Amr (kata kerja perintah) yang menunjukkan bahwa hukumnya wajib. Oleh karena itu semua kaum muslimin yang mempunyai keluarga wajib menyelamatkan diri dan keluarga dari bahaya api neraka.


Ibnu Qoyyim menjelaskan bahwa beberapa ulama mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan meminta pertanggungjawaban setiap orang tua tentang anaknya pada hari kiamat sebelum si anak sendiri meminta pertanggungjawaban orang tuanya. Sebagaimana seorang ayah itu mempunyai hak atas anaknya, maka anak pun mempunyai hak atas ayahnya. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Kami wajibkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya.” (QS. Al Ankabut: 7), maka disamping itu Allah juga berfirman, “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang berbahan bakar manusia dan batu.” (QS. At Tahrim: 6)

Ibnu Qoyyim selanjutnya menjelaskan bahwa barang siapa yang mengabaikan pendidikan anaknya dalam hal-hal yang bermanfaat baginya, lalu ia membiarkan begitu saja, berarti telah melakukan kesalahan besar. Penyebab kerusakan anak adalah akibat orang tua yang acuh tak acuh terhadap anak mereka, tidak mau mengajarkan kewajiban dan sunnah agama. Mereka menyia-nyiakan anak ketika masih kecil sehingga mereka tidak boleh mengambil keuntungan dari anak mereka ketika dewasa.


Setelah kita memahami besarnya peranan dan tanggung jawab seorang ibu sebagai seorang pendidik, melihat realiti yang ada sekarang sepertinya keadaannya menyedihkan! Tidak semua memang, tapi banyak dari para ibu yang mereka sibuk bekerja dan tidak memperhatikan bagaimana pendidikan anak mereka. Tidak memperhatikan bagaimana aqidah mereka, apakah terkotori dengan syirik atau tidak. Bagaimana ibadah mereka, apakah sholat mereka telah benar atau tidak, atau bahkan malah tidak mengerjakannya… Bagaimana mungkin pekerjaan menanam tauhid di dada-dada generasi muslim boleh dibandingkan dengan gaji ribuan ringgit? Sungguh! sangat jauh perbandingannya.

Anehnya lagi, ada ibu-ibu yang sebenarnya tinggal di rumah namun tidak juga mereka memperhatikan pendidikan anaknya, bagaimana kepribadian anak mereka dibentuk. Membesarkan anak seolah hanya sekadar memberinya makan. Sedih! Tanpa memperhatikan bagaimana aqidah, bagaimana ibadah, asal tidak bertengkar dan boleh senyum dan tertawa ria di rumah, dianggapnya bahagia.

Ketika usia senja, mata mulai rabun, tulang mulai rapuh, atau bahkan tubuh ini hanya mampu berbaring dan tak boleh bangkit dari katil untuk sekedar berjalan. Siapa yang mau mengurus kita kalau kita tidak pernah mendidik anak-anak kita? Bukankah mereka sedang sibuk dengan karier mereka yang dulu pernah kita banggakan, atau mungkin sedang asyik dengan isteri dan anak-anak mereka?

Ketika malaikat maut telah datang, ketika jasad telah dimasukkan ke kubur, ketika diri sangat memerlukan doa padahal pada hari itu diri ini sudah tidak mampu berbuat banyak karena pintu amal telah ditutup, siapakah yang mendoakan kita kalau kita tidak pernah mengajari anak-anak kita?

Lalu…

Masihkah kita mengatakan jawatan suri rumah tangga dengan kata ‘cuma’? dengan tertunduk dan suara lirih karena malu?

Wallahu a'alam"

Friday 15 January 2010

Keluarga besar vs keluarga kecil

Bagi mereka yang baru memulakan kehidupan berkeluarga, persoalan di atas akan mula bermain di fikiran apabila isteri telah mula menunjukkan tanda-tanda bermulanya benih di dalam kandungan. Apabila lahirnya cahayamata yang pertama kemudian disusuli dengan cahaya mata yang kedua dalam tempoh yang terdekat, si ibu dan ayah mula memikirkan untuk merancang keluarga, tambahan pula jika memilih untuk mencari rezeki di kota-kota besar. Memang kepayahan akan dirasa, hendak mencari penjaga kepada anak-anak kecil, yang belanjanya memang tak terfikir oleh orang-orang di kawasan kampung. Duit setiap bulan habis untuk belanja taman asuhan atau menghantar kepada pengasuh merangkap penjaga sementara ketika ibubapa bekerja.

Tetapi, haruskah kita mempertikaikan ke mana rezeki itu dihabiskan dan berkira-kira untuk mempunyai anak yang ramai kerana tidak mampu. Sebenarnya, keyakinan kita kepada Allah Ar-Razzaq kena sentiasa ada dan dipahatkan di dalam minda. Rezeki setiap anak pasti ada, walau berapa ramai pun anak kita. Jangan dijadikan alasan bahawa kerja makan gaji atau pendapatan yang tidak menentu sebagai penghalang untuk mempunyai anak yang ramai. Berusahalah dengan tulang empat kerat yang kita ada untuk mencari rezeki bagi menyara anak-anak.

Memang payah dan sukar untuk melaluinya, tetapi berbekalkan keimanan dan keyakinan kita kepada-Nya, inshaallah dengan izin-Nya kita akan dapat mengharunginya. Anak ramai adalah satu cabaran kepada kita untuk berusaha dengan lebih keras bagi memperbaiki kehidupan. Janganlah kita mudah berputus asa dalam berusaha.

Tetapi, ada juga orang yang berkeingingan untuk memiliki keluarga yang besar, tapi hajat tidak kesampaian, malah ada yang berasal daripada keluarga yang besar, tetapi bila mereka berkeluarga, Allah tidak mengurniakan zuriat walau satu pun. Semua kita harus bersabar, kerana nasib setiap orang tidak sama. Setiap orang juga melalui ujian hidup yang berbeza.

Berusahalah apabila memiliki keluarga yang besar. Saya juga berkeluarga besar walaupun tidaklah sampai 10 orang, tapi melebihi 5 orang. Banyak perkara yang perlu dikorbankan demi anak-anak, termasuklah sijil yang belajar sampai ke Universiti. Anak yang ramai mengajar kita agar lebih sabar dan kuat semangat.

Apapun, terpulanglah pada citarasa masing-masing. Sesungguhnya, apabila mati anak Adam tiada apa yang dapat menolongnya kecuali 3 perkara iaitu ilmu yang dimanfaatkan, sedekah jariah yang berterusan dan doa daripada anak-anak yang soleh. Kalau tak ada ilmu atau sedekah jariah, sekurang-kurangnya kita ada anak yang telah kita didik untuk mendoakan kita apabila mati kelak.

Susahkah menjaga anak?

Seringkali kita merungut dengan tingkah laku nakal dan bersahaja anak-anak kita seperti orang yang tidak melakukan kesalahan. Seringkali juga kita merasa bersalah apabila anak-anak dijadikan sasaran untuk melepaskan tekanan hidup yang kita alami. Susahkah menjaga anak?

Apabila Allah menahan sementara kita daripada memiliki zuriat, seringkali kita berdoa kepadaNya, "Ya Allah! Kurniakanlah kepada kami zuriat, kerana kami teringin sekali untuk mempunyai anak seperti orang lain, terasa begitu sunyi hidup ini, tanpa anak-anak di sisi". Tetapi, bagi yang telah dikurniakan anak oleh Allah, bukan seorang malah penuh satu rumah, kerimasan mula melanda diri. Hidup dirasakan sesak dan memyusahkan sebab setiap anak ada keinginan dan kehendaknya yang tersendiri.

Wahai semua ibu dan ayah, hayatilah kehidupan ketika anak-anak masih di sisi. Kehidupan bersama mereka tidak lama, apabila mereka mula bersekolah, sedarlah bahawa mereka akan mula meninggalkan kita sedikit demi sedikit. Buat permulaan, mungkin hanya 6 atau 7 jam sehari kita tidak berjumpa mereka, lama kelamaan masa bersama mereka akan semakin singkat. Suatu masa nanti, kita akan merindui saat-saat bersama mereka. Buat yang terlalu mengejar kebendaan, satu kerugian buat anda sekiranya suatu hari nanti anda akan menyesal dengan apa yang telah dilalui. Sesungguhnya masa tidak dapat diputar kembali. Terimalah amanah Allah ini dengan hati yang redha dan terbuka serta bersyukurlah dengan kurnian-Nya. Inilah harta yang paling bernilai sekiranya kita pandai menilainya. Coraklah mereka sebaik mungkin kerana kitalah yang memegang berus tersebut, kalau kita mewarna mereka dengan berhati-hati dan bersungguh-sungguh maka akan cantiklah hasilnya. Anak adalah gambaran didikan ibu dan ayahnya.

Semoga bertemu lagi....