Saturday 16 January 2010

Malu menjadi surirumahtangga?

Saya tertarik dengan satu isu yang dibincangkan di salah ruangan forum yang acap kali juga saya sertai. Topik berkisar tentang isu memilih untuk menjadi surirumahtangga atau 'full time housewife' ringkasnya bahasa dalam internet ni "fthw". Saya juga salah seorang yang memilih profession ini, dan tidak pernah bekerja makan gaji selepas habis belajar, sebab seusai belajar terus disambar oleh suami.

Memang ketika itu, perasaan berbelah bahagi, antara kerja makan gaji atau berkhidmat kepada suami. Tetapi, disebabkan sebelum berkahwin lagi saya sudah punya keinginan dan niat untuk mendidik anak sendiri, perasaan untuk bekerja makan gaji hanya datang ketika diri terasa sepi.

Di sini saya cuba bawakan topik hangat yang menjadi perdebatan di ruangan forum tersebut, ada yang berkata seronok malah ada yang mencebik mengatakan bosan mengasuh anak sendiri sebab tak ada gaji yang menanti. Kita hayati bingkisan ini:

"Hebat rasanya ketika mendengar ada seorang wanita lulusan sebuah universiti ternama telah bekerja dengan gaji mahal. Belum lagi pekerjaan itu sering menugaskan wanita tersebut terbang ke luar negara untuk menyelesaikan urusan perkerjaan. Tergambar seolah kejayaan telah dia raih. Benarkah begitu?

Kebanyakan orang akan beranggapan demikian. Sesuatu dikatakan sukses lebih dinilai dari segi material sehingga jika ada sesuatu yang tidak memberi nilai material akan dianggap remeh. Cara pandang yang demikian membuat banyak dari wanita muslimah tersasar dari fitrahnya. Berpandangan bahwa sekarang sudah tiba masanya wanita tidak hanya tinggal di rumah menjadi ibu, tapi sekarang saatnya wanita ‘menunjukkan eksistensi diri’ di luar. Menggambarkan seolah-olah tinggal di rumah menjadi seorang ibu adalah hal yang rendah.

Kita biasa dapati ketika seorang suri rumah tangga ditanya teman lama “Sekarang kerja dimana?” rasanya terasa berat untuk menjawab, berusaha mengalihkan pembicaraan atau menjawab dengan suara lirih sambil tertunduk “Saya adalah suri rumah tangga”. Rasanya malu! Apalagi jika teman lama yang menanyakan itu “sukses” kariernya. Atau kita boleh dapati ketika ada seorang muslimah lulusan universiti ternama dengan prestasi bagus hendak berkhidmat di rumah menjadi seorang isteri dan ibu bagi anak-anak, dia harus berhadapan dengan “nasehat” dari ibubapanya: “Anakku! Kamu kan sudah belajar tinggi2, Sayang kalau cuma di rumah saja mengurus suami dan anak.” Padahal, anak tercintanya hendak berkhidmat dengan sesuatu yang mulia, yaitu sesuatu yang memang menjadi tanggung jawabnya. Disana ia ingin mencari surga dan keredhaan Ilahi.

Ibu Sebagai Seorang Pendidik

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa pembentukan masyarakat boleh dilakukan dengan dua cara: Pertama, pembentukan secara lahiriah, yaitu pembentukkan yang berlangsung di pasar, masjid, dan berbagai urusan lahiriah lainnya. Hal ini banyak didominasi kaum lelaki, karena merekalah yang sering nampak dan keluar rumah. Kedua, pembentukan masyarakat di balik layar, yaitu pembaikan yang dilakukan di dalam rumah. Sebagian besar peranan ini diserahkan pada kaum wanita sebab wanita merupakan pengurus rumah. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah subhanahu wa ta’ala yang artinya:

“Dan hendaklah kalian (para wanita) tetap di rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa kalian, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 33)

Pertumbuhan generasi suatu bangsa adalah pertama kali berada di buaian para ibu. Ini berarti seorang ibu telah mengambil peranan yang besar dalam pembentukan peribadi sebuah generasi. Ini adalah tugas yang besar! Mengajari mereka kalimat Laa Ilaaha Illallah, menancapkan tauhid ke dada-dada mereka, menanamkan kecintaan pada Al Quran dan As Sunah sebagai pedoman hidup, kecintaan pada ilmu, kecintaan pada Al Haq, mengajari mereka bagaimana beribadah pada Allah yang telah menciptakan mereka, mengajari mereka akhlak-akhlak mulia, mengajari mereka untuk bersyukur, bersabar, disiplin, tanggung jawab, rasa empati, menghargai orang lain, memaafkan, dan masih banyak lagi. Termasuk di dalamnya hal yg dianggap remeh, seperti mengajarkan pada anak cara masuk ke bilik air dgn kaki kiri...

Sebuah Tanggung Jawab

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6)

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya: “Peliharalah dirimu dan keluargamu!” di atas menggunakan Fi’il Amr (kata kerja perintah) yang menunjukkan bahwa hukumnya wajib. Oleh karena itu semua kaum muslimin yang mempunyai keluarga wajib menyelamatkan diri dan keluarga dari bahaya api neraka.


Ibnu Qoyyim menjelaskan bahwa beberapa ulama mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan meminta pertanggungjawaban setiap orang tua tentang anaknya pada hari kiamat sebelum si anak sendiri meminta pertanggungjawaban orang tuanya. Sebagaimana seorang ayah itu mempunyai hak atas anaknya, maka anak pun mempunyai hak atas ayahnya. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Kami wajibkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya.” (QS. Al Ankabut: 7), maka disamping itu Allah juga berfirman, “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang berbahan bakar manusia dan batu.” (QS. At Tahrim: 6)

Ibnu Qoyyim selanjutnya menjelaskan bahwa barang siapa yang mengabaikan pendidikan anaknya dalam hal-hal yang bermanfaat baginya, lalu ia membiarkan begitu saja, berarti telah melakukan kesalahan besar. Penyebab kerusakan anak adalah akibat orang tua yang acuh tak acuh terhadap anak mereka, tidak mau mengajarkan kewajiban dan sunnah agama. Mereka menyia-nyiakan anak ketika masih kecil sehingga mereka tidak boleh mengambil keuntungan dari anak mereka ketika dewasa.


Setelah kita memahami besarnya peranan dan tanggung jawab seorang ibu sebagai seorang pendidik, melihat realiti yang ada sekarang sepertinya keadaannya menyedihkan! Tidak semua memang, tapi banyak dari para ibu yang mereka sibuk bekerja dan tidak memperhatikan bagaimana pendidikan anak mereka. Tidak memperhatikan bagaimana aqidah mereka, apakah terkotori dengan syirik atau tidak. Bagaimana ibadah mereka, apakah sholat mereka telah benar atau tidak, atau bahkan malah tidak mengerjakannya… Bagaimana mungkin pekerjaan menanam tauhid di dada-dada generasi muslim boleh dibandingkan dengan gaji ribuan ringgit? Sungguh! sangat jauh perbandingannya.

Anehnya lagi, ada ibu-ibu yang sebenarnya tinggal di rumah namun tidak juga mereka memperhatikan pendidikan anaknya, bagaimana kepribadian anak mereka dibentuk. Membesarkan anak seolah hanya sekadar memberinya makan. Sedih! Tanpa memperhatikan bagaimana aqidah, bagaimana ibadah, asal tidak bertengkar dan boleh senyum dan tertawa ria di rumah, dianggapnya bahagia.

Ketika usia senja, mata mulai rabun, tulang mulai rapuh, atau bahkan tubuh ini hanya mampu berbaring dan tak boleh bangkit dari katil untuk sekedar berjalan. Siapa yang mau mengurus kita kalau kita tidak pernah mendidik anak-anak kita? Bukankah mereka sedang sibuk dengan karier mereka yang dulu pernah kita banggakan, atau mungkin sedang asyik dengan isteri dan anak-anak mereka?

Ketika malaikat maut telah datang, ketika jasad telah dimasukkan ke kubur, ketika diri sangat memerlukan doa padahal pada hari itu diri ini sudah tidak mampu berbuat banyak karena pintu amal telah ditutup, siapakah yang mendoakan kita kalau kita tidak pernah mengajari anak-anak kita?

Lalu…

Masihkah kita mengatakan jawatan suri rumah tangga dengan kata ‘cuma’? dengan tertunduk dan suara lirih karena malu?

Wallahu a'alam"

2 comments:

  1. Menitis air mata saya baca posting nih.....

    ReplyDelete
  2. nih bakal suami mithalilah ni...bukan senang nak menggapai syurga..

    ReplyDelete